Peran actor-aktor yang berkepentingan tehadap sumber daya tanah menjadi penyebab munculnya konflik agraria. Pemahaman mengenai cara system dan proses produksi kemudian menganalisis deskriptif dari data berupa kasus-kasus yang kemungkinan tibul dari perkembangan mode produksi. Tanah tidak hanya dipandang sebagai factor produksi tetapi juga merupakan asset penting bagi aktivitas manusia.
Pada masa feodalisme atau prakapitalis, raja menggarap tanah hanyalah symbol otoritas. System ini pada prinsipnya mengutamakan hubungan yang erat antara raja dan tuan-tuan tanah dalam mengurus Negara. Di Indonesia system feodalisme muncul pada zaman Hindu. Di Jawa penguasaan tanah tidak begitu menentukan sebagai dasar hubungan antara rakyat dan raja. Kekuasaan para bangsawan lebih berdasarkan pada jumlah cacah yang sesuai dengan prinsip bersatunya kawula dan gusti sehingga dalam struktur masyarakatnya terlihat pengelompokan menurut kelas tertentu seperti priyayi dan rakyat biasa.
Sumber-sumber ekonomi secara politis dikuasai feudal dan petani hanya sebagai penggarap dengan berbagai kewajiban kepada raja yang bersfat mengikat. Akibatnya sering terjadi konflik antara raja (bangsawan) dan rakyat yang menggarap tanah hasil pemberian raja. Mode produksi feudal ini sangat mempengaruhi kriteria konflik-konflik yang muncul seperti bentuk, level, intensitas maupun ukuran konflik. Bentuk konflik yang muncul bersifat horizontal dan vertical, yakni implikasi dari adanya penguasa tunggal atas tanah. Bagi petani yang seluruh hidupnya tergantung dari hasil tanah garapan, tanah dianggap sebagai pusaka (heirloom land) dan tidak sekedar symbol apalagi mata dagangan (commodity).
Perubahan fungsi tanah dari alat produksi untuk konsumsi si penggarap menjadi alat alat untuk mencapai surplus maksimal menyebabkan tingkat eksploitasi tinggi pada factor produksi yakni tanah dan tenaga kerja (penggarap). System ekonomi semacam ini disebut sebagai kapitalisme. Cirri khas kapitalisme adalah penguasaan modal oleh kapitalis, sementara tanah dan tenaga kerja sebagai factor produksi terpisah satu sama lain. Di Indonesia munculnya kapitalisme sebagai bentuk dari kolonialisme asing.
Pada masa colonial, perkembangan mode produksi kapitalis mencapai puncaknya pada masa liberal atau penanaman modal. Kebijakan pemerintah colonial dengan mengubah tanah-tanah komunal menjadi milik persorangan memposisikan tanah dari factor produksi menjadi sumber penumpukan capital dan investasi para pemodal swasta. Pengutuban antara rakyat sebagai buruh di satu pihak dan pemilik modal swasta asing dan Negara di lain pihak menyebabkan munculnya konflik-konflik agraria yang bersifat structural.
Perubahan politik yang terjadi dengan berakhirnya masa colonial di Indonesia, ikut mengubah mode produksi agraria dari kapitalis colonial menjadi populis. Mode produksi populis ini menempatkan tanah, tenaga kerja, pengambilan keputusan mengenai proses produksi, akumulasi dan investasi capital di tangan keluarga petani. Dalam system ini, pengakuan hak individu atas tanah-tanah sangat jelas tanpa mengabaikan fungsi tanah secara social. Kekuatan politik masyarakat yang dikutsertakan dalam program-program agraria yang bersifat populis tampak dari lahirnya UUPA 1960 dan pelaksanaan land reform. Konflik-konflik tanah yang sifatnya internal dan bentuknya horizontal muncul mewarnai perkembangan mode produksi populis yakni antara buruh tani dan petani-petani kecil melawan tuan-tuan tanah, petani-petani kaya dan penguasa-penguasa perkebunan.
Perubahan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru telah membawa akibat pada terjadinya perubahan system politik. Salah satunya adalah perubahan strategi agraria (neo) populis menjadi strategi agraria kapitalis melalui ideology pembangunan (developmentalisme) yang terkait erat dengan system kapitalisme dunia. Struktur politik agraria kapitalis di masa Orde Baru yang menekankan pada eksploitasi sumber-sumber daya agraria untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi telah jelas mengubah tanah dan petani dari asset menjadi sumber eksploitasi capital.
Perubahan mode produksi ke proses akumulasi capital inilah yang menimbulkan konflik tanah sepanjang Orde Baru yang bersumber darikegiatan pengambilan tanah-tanah rakyat oleh pemodal dan atau Negara. Pengambilalihan tanah-tanah ini terlihat dari banyaknya kasus penggusuran tanah disektor dan subsektor pembangunan, seperti kehutanan, perkebunan, pertanian, industri dan pariwisata.
Dilihat dari sistematika mode produksinya, mode produksi masa kolonial dan Orde Baru memiliki kesamaan yaitu keduanya merupakan system yang sangat eksploitatif dalam memanfaatkan factor-faktor produksi. Perbedaan yang terlihat dari siapa actor dan apa peran yang dimainkan dalam mode produksi capital tersebut serta motivasi-motivasi petani melakukan “pemberontakan”. Penyebab konflik tanah dalam mode produksi capital tersebut adalah kepentingan yang sama atas sumber daya tanah.
0 komentar:
Posting Komentar