Jumat, 24 Desember 2010

KONFLIK AGRARIA PADA MASA ORDE BARU BAGIAN 2


Sengketa Agraria Sektoral

Kehutanan
Konflik tanah terjadi akibat tumpang tindihnya areal kosensi hutan dan hutan dikuasai oleh masyarakat adat. Kasus sengketa tanah antara masyarakat adat di Sawahlunto (Sumatera Barat) dan PT IN yang melarang penduduk mengerjakan tanah yang diklaim sebagai milik PT IN sebagai pemegang HPH yang sah (Kompas, 22/4/1983) merupakan contoh kasus sengketa tanah akibat perebutan sumber daya kehutanan antara masyarakat adat pengelola hutan yang sebagian besar hidupnya masih tergantung dari sumber daya hutan dan pemodal sebagai pemegang HPH yang difasilitasi pemerintah.
Selain oleh pemodal, dominasi Negara juga berperan memunculkan kasus-kasus baru sengketa tanah. Kebanyakan kasus persengketaan disebabkan penguasaan pemodal atas tanah-tanah petani. Selain akibat penggusuran tanah-tanah adat, konflik-konflik tanah disubsektor kehutanan juga muncul akibat perebutan sumber-sumber ekonomi masyarakat adat yang sebagian besar diambil dari hutan.
Kebijakan Negara melalui UUPK No 5/1967, lebih menekankan kepada cara Negara dalam memperoleh devisa melalui sector kehutanan, bukan karena perlindungan terhadap hak-hak masyarakat local. UU ini tidak mampu dalam menekan konflik tumpang tindih lahan dengan peruntukan lain.

Transmigrasi
Kasus-kasus sengketa tanah di lokasi transmigrasi kadang terjadi sebagai akibat kebijakan transmigrasi yang sering mengabaikan hak-hak masyarakat local. Kesalahan pemilihan lokasi bagi transmigran mengakibatkan terjadinya berbagai kasus persengketaan dan konflik antara masyarakat adat dan para transmigran.

Pertambangan
Konflik pertambangan yang pertama muncul dalam masa Orba adalah konflik yang terjadi antara masyarakat Suku Amungme dan PT Freeport Indonesia. Mereka menentang pembuldoseran tanah mereka untuk kepentingan pertambangan. Suku Amungme melakukan perusakan terhadap beberapa fasilitas Freport. Aksi ini kemudian dapat dipadamkan dengan aksi militer.

Perkebunan
Konflik yang terjadi adalah antara rakyat dan perusahaan Negara sebagai akibat perebutan tanah-tanah komoditas tertentu yang sesuai dengan keinginan pihak pemodal. Kasus sengketa tanah yang terjadi antara petani penggarap dan pihak perkebunan Negara yang berusaha mengambilk alih penguasaan tanah dari tangan petani penggarap. Contoh : kehidupan penduduk Air Batu (Kab. Asahan) terusik ketika PTP V membebaskan lahan garapan mereka untuk pengembangan perkebunan.
Dalam pola PIR-BUN, proses-proses pengambilalihan tanah yang digarap petani oleh pihak pemodal merupakan salah satu bentuk konflik agraria disubsektor perkebunan yang semakin merebak di masa Orde Baru.

Industri
Rumitnya pengaturan masalah tanah dalam proses industrialisasi telah mengakibatkan kasus-kasus sengketa tanah dalam bentuk berbagai proses penggusuran dan pengambilalihan tanah-tanah untuk pengembangan kawasan industry.
Contoh kasusnya adalah : sengketa tanah milik petani Kedungombo untuk pembangunan waduk. Sengketa tanah ini menjadi kasus yang melebar dan lama pemecahannya karena tidak berusaha diselesaikan secara tuntas.

Pariwisata
Sengketa tanah di sector pariwisata adalah semakin maraknya kasus yang menyangkut pembangunan tempat-tempat pariwisata. Kasus-kasus sengketa tanah antara pihak pengembang sector pariwisata dan pemilik tanah di kawasan yang hendak dibebaskan banyak terjadi, baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa.
Contoh : Cangkringan, Sleman, DIY, kasus sengketa tanah antara petani vs pihak pengembang pariwisata. Warga dari empat dusun menolak tanah mereka digusur dan akan digunakan untuk pembangunan kawasan wisata. Warga kemudian mengadakan unjuk rasa dan mengadukan masalahnya ke DPRD (Republika, 31/5/1994).

0 komentar:

Posting Komentar