Aktor yang mempengaruhi dinamika politik adalah semacam pressure group dan media masa yang jumlahnya terbatas dalam mengartukulasi kepentingan-kepentingan pihak yang berkonflik, yaitu rakyat. Konflik-konflik yang muncul muncul pada periode ini banyak berkaitan dengan transmigrasi dan eksploitasi sumber daya agraria. Konflik yang bersifat vertical-struktural yaitu antara masyarakat yang mempertahankan hak atas tanah di satu pihak dan pemerintah dan pemilik modal yang melakukan model pembangunan lapar tanah di lain pihak.
Dimensi structural-vertikal dapat dipahani dalam proses akumulasi factor produksi sebagai berikut :
1. Konflik terjadi dalam konteks perebutan sumber daya agraria
2. Konflik terjadi dalam konteks pemaksaan terhadap komoditas tertentu
3. Konflik terjadi dalam konteks massa mengambang
Konflik yang terjadi cenderung melibatkan aparat pemerintahan baik sipil maupun militer. Tekanan aparat dapat diamati dari besar tidaknya pengaruh politik yang ditimbulkan. Tekanan aparat sangat bervariasi, diantaranya:
a. Pencapan sebagai anggota organisasi terlarang
b. Pencabutan fasilitas hak-hak sipil
c. Kekerasan fisik/senjata
d. Kekerasan fisik tanpa senjata
e. Intimidasi terror
f. Pembuldoseran
g. Penangkapan
Perlawanan yang dilakukan oleh petani, antara lain :
a. Menolak pengambilan tanah
b. Melakukan aksi delegasi ke lembaga politik
c. Meminta bantuan LBH/LSM atau Komnas HAM
d. Melakukan perlawanan fisik
e. Perusakan
f. Menggugat ke pengadilan
Pembelaan Rakyat Melawan Pembela Kepentingan Pembangunan
Petani tetap bertahan dalam menghadapi kasus sengketa tanah dan berusaha tetap pada posisinya dalam menghadapi usaha penguasaan atas eksistensinya. Seandainya akibat dari penguasaan ini dirugikan, petani akan bereaksi untuk bertahan atau berusaha untuk tetap hidup samapi ambang batas minimal.
Level Konflik
Tidak meratanya level konflik berkaitan pula dengan ketidakberdayaan partai politik dalam mengangkat isu konflik tersebut dan ketidakeberakaran mereka kedalam masyarakat pedesaan. Dlihat dari dampak atau kaitan konflik tanah dengan masalah lain, konflik yang terjadi hanya sebatas masalah agrarian. Hal ini berkaitan dengan kondisi perlawanan petani atau pihak yang berkonflik yang lebih terfokus pada upaya mempertahankan hak yang sudah ada, dan bukan merupakan sebuah gerakan yang ingin mengubah strategi kebijakan yang lebih besar.
Penyelesaian Kasus per Kasus
Sampai saat ini belum ada upaya yang bersifat structural, yaitu menyesuaikan kebijakan yang ada agar lebih memihak kepada kepentingan petani kecil. Upaya peradilan cenderung merugikan pihak petani sehingga petani memilih jalur di luar pengadilan dalam usaha menyelesaikan konflik. Diterapkannya MAPS (Mekanisme Alternatif Pemecahan Sengketa) yang merupakan pengembangan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa alternative di luar pengadilan.
Gambaran ke Depan
Konflik agraria yang muncul di Indonesia sangat berkaitan dengan dimensi politik dan ekonomi dalam konteks hubungan-hubungan agraris serta kebijakan-kebijakan agraria pada suatu periode tertentu. Kebijakan ini akan mempengaruhi bentuk konflik yang timbul, actor yang terlibat, serta level konfliknya.
Pada masa prakolonial atau feudal, pola hubungan vertical dalam penguasaan tanah menentukan bentuk konflik agraria yang sifatnya vertical dan horizontal. Aktornya adalah “raja vs rakyat”. Masa colonial konflik agrarian bersifat structural, rakyat vs pemerintah colonial dan pemilik modal asing. Orde Lama, konflik bersifat horizontal, karena system politik yang pluralistic. Orde Baru, untuk mendorong kesuksesan program pembangunan ekonomi nasional pemerintah mengalokasikan penggunaan sunberdaya agraria digarap secara modern yang dianggap lebih cepat daripada sector tradisional.
Pada masa feodalisme, actor yang berkuasa dalam alat produksi (tanah) adalah raja, sementara rakyat hanya berhak menggunakan dan menggarapnya. Pada masa colonial, tanah dikuasai oleh pemerintah colonial dan pemodal asing yang berhasil mengambil alih dari tangan raja. Pada masa ini timbullah kapitalisme. Pada masa Orde Lama, adanya UU Land Reform. Konflik terjadi antara pihak yang pro dan kontra terhadap program land reform. Orde Baru, menekankan pada peningkatan produktifitas tetapi mengabaikan pembenahan struktur agraria. Sepanjang sejarah posisi petani tetap lemah, baik secara politik maupun politik.
0 komentar:
Posting Komentar