Ilmu politik erat hubungannya dengan sejarah dan filsafat, karena sejarah merupakan alat yang paling penting bagi ilmu politik, karena sejarah merupakan bahan atau data /fakta dari masa lampau untuk diolah lebih lanjut.
Menurut Harold Lasswell, politik adalah kegiatan masyarakat yang berkisar pada masalah-masalah “siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana” (who gets what, when and how).
Dalam kenyataannya memang seperti itu, persoalan politik selalu menyangkut siapa yang sedang mengejar apa. Kemudian juga kapan dan bagaimana yang dikejar itu dapat diperoleh. Sebagai misal, siapa saja yang ingin menjadi ketua partai? Kemudian kapan dan bagaimana kursi ketua partai itu dapat diraih? Dengan cara yang wajar atau tidak? Timing nya tepat atau tidak? Siapa yang ingin menjadi anggota parlemen, gubernur, bupati, menteri, presiden, kemudian kelompok-kelompok politik mana saja yang mendukung siapa tersebut.
Politik, satu terminologi yang pada saat ini sedikit trend, banyak dibicarakan, dan menjadi pusat perhatian beberapa kalangan yang berkepentingan. Menurut beberapa pendapat, politik diartikan sebagai as a power, politik adalah kekuasaan, politik selalu diorientasikan pada tujuan pencapaian kekuasaan. Hampir senada dengan pendapat terminologi politik kontemporer tersebut, Miriam Budiardjo dalam bukunya “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, memberikan definisi politik sebagai cara, metode, alat, “seni” bagaimana memperoleh kekuasaan, bagaimana menjalankan kekuasaan, serta bagaimana mempertahankan kekuasaan.
Berdasarkan sejarah, politik merupakan ilmu yang paling tua. Politik lahir ketika manusia mengenal hidup bermasyarakat, bersosialisasi, berinteraksi satu sama lain, serta ketika sekelompok manusia mampu mempengaruhi kelompok atau elemen manusia lainnya. Jika demikian adanya, maka politik adalah kodrat, politik merupakan sifat manusia yang terbawa akibat sosial entitasnya. Pada dasarnya politik adalah suci, yaitu untuk kesejahteraan, kemakmuran dam keamanan umat manusia (social welfare). Kekotoran politik muncul ketika proses: “Bagaimana memperoleh kekuasaan, bagaimana menjalankan kekuasaan, serta bagaimana mempertahankan kekuasaan” dan proses-proses tersebut dilaksanakan dengan cara/metode yang salah, kotor, penuh kecurangan dan pengkhianatan.
Politik lahir akibat proses sosial yang dialami sekelompok manusia, sehingga patronase kehidupan politik masyarakat akan sangat khas dan heterogen antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Masyarakat Eropa akan membentuk patronase kehidupan politik Eropa, masyarakat Asia akan membentuk patronase kehidupan politik Asia yang berbeda karakternya dengan patronase politik Eropa. Begitu pula dengan masyarakat “Sunda” akan membentuk patronase politik “Sunda” yang bersifat khas, sesuai dengan pola budaya masyarakat yang hidup di “Tatar Sunda”.
Etos, lebih bersifat abstrak, menyangkut tata nilai dan pola nilai, bersifat psikologis, serta menyangkut pola “semangat” dari suatu masyarakat yang telah terpatron/terbekukan dalam waktu yang cukup lama. Sama halnya dengan politik, etos terbentuk sebagai akibat dari hidup sosial manusia, sebagai hasil dari pergaulan manusia. Etos dapat berupa pola, pranata, peribahasa, ungkapan-ungkapan yang menjadi dasar semangat serta mempengaruhi kehidupan dan perilaku suatu komunitas masyarakat. Sehingga dengan demikian, etos politik dapat diartikan sebagai pola “semangat” dari suatu masyarakat/komunitas tentang kehidupan politiknya serta terbentuk dalam kurun waktu yang cukup lama.
Menurut pengamatan penulis, masyarakat Sunda banyak sekali memiliki etos-etos yang mempengaruhi kehidupannya, termasuk dalam kehidupan berpolitik. Misalnya dalam filosofi Sunda dikenal istilah “Caina Herang Laukna Benang”. Filosofi tersebut jika diterapkan dalam kehidupan politik mengandung pengertian bahwa tujuan politik adalah suatu keharusan yang harus dicapai, tapi proses pencapaiannya jangan sampai membawa dampak (red: kekotoran) negatif terhadap masyarakat dan elemen-elemen lain disekitarnya. Tujuan politik adalah “kekuasaan”, sehingga pencapaian tujuan politik adalah tercapainya kekuasaan. Prinsip “Caina Herang Laukna Benang” mengisaratkan bahwa pencapaian tujuan politik (red: kekuasaan) harus dilakukan dengan cara yang bersih (baik/mengusung etika), bertujuan bersih, menggunakan metode bersih sehingga dampaknya diharapkan akan bersih.
Dalam masyarakat Sunda dikenal pula filosofi “ Siger Tengah”. Dalam kehidupan politik, konsep “Siger Tengah” mengandung pengertian bahwa seorang politisi harus bisa mengakomodasi semua komponen, semua kepentingan (interest), tidak berat sebelah, dapat membuat keputusan-keputusan politik yang mampu mengakomodasi semua kepentingan, serta mampu berdiri diantara beberapa kelompok masyarakat terutama kelompok masyarakat yang berbeda pandangan, ideologi, atau pola anutan nilai. Filosofi “Siger Tengah” bukan menunjukan bentuk ikonsistensi sikap serta bukan pula menunjukan sikap yang “abu-abu”, Filosofi “Siger Tengah” lebih diorientasikan pada pengungkapan sikap yang akomodatif dan tercapainya stabilitasi kondisi.
Kehidupan politik secara empiri terutama dilihat dari sudut pandang black politic identik dengan kekerasan, kekotoran, dan pengkhianatan. Menurut pengamatan penulis faktor-faktor tersebutlah yang menyebabkan kenapa orang Sunda sampai saat ini belum bisa menunjukan eksistensi significan dalam panggung politik nasional. Orang Sunda terkenal dengan sikap yang ramah dan “teu tegaan” (sikap empati), sedangkan dalam perebutan kekuasaan (red: tujuan politik) terkadang harus membuang sifat ramah dan rasa kasihan bahkan terhadap teman sekalipun hanya untuk tercapainya tujuan politik.