Jumat, 24 Desember 2010

PETANI ANTARA MORAL DAN RASIONAL


Menurut Scott: Prinsip “norm of reciprocity” dan jaminan subsistensi (petani subsisten : menunjuk pada rumah tangga petani yang mengerjakan suatu lahan kecil untuk dikonsumsi sendiri) minimal berada pada hubungan social yang pantas, wajar dan adil yang menggambarkan kehidupan ekonomi petani secara normative. Menurut George Stuart, salah satu pola hubungan itu adalah sikap inti dan hormat terhadap tanah yang menganggap pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang baik dan kegiatan komersil sebagai pekerjaan yang tidak terlalu baik.
Dalam teori ekonomi dualisme Boeke (dua pola ekonomi : tradisional dan modern), menilai bahwa nilai dan sikap “limited needs” merupakan prinsip moral yang berlaku umum di kalangan petani Jawa. Menggarap sawah tidak dianggap sebagai kegiatan ekonomi untuk mencari keuntungan tetapi sekedar untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Menurut Wolf, ada kecenderungan petani akan menghentikan usahanya berproduksi begitu kebutuhan subsistensinya terpenuhi. Sedangkan, Popkins lebih mengakui adanya rasionalitas petani. Petani adalah “homo oekonomicos” yang akan terus berusaha memaksimalkan sumber daya dan kemakmuran sendiri tanpa memperdulikan moral pedesaan seperti pendapat Scoot. Menurut Hayami dan Kikuchi, pada masyarakat petani berlaku prinsip moral dan rasional ketika akan mencari keuntungan.
Ada tiga indicator yang dipakai untuk memahami pola subsistensi petani, yaitu :
1. Sikap atau cara petani memperlakukan factor-faktor produksi yakni tanah dan sumber daya agraria
2. Besar kecilnya skala usaha petani
3. Jenis komoditas yang dibudidayakan petani
Konsep tentang petani subsisten merupakan kunci utama dalam menganalisis persoalan konflik agrarian di Indonesia. Asumsi sementara yang akan menjadi alatanalisis memahami fakta sempitnya skala usaha petani adalah realitas terjadinya proses ketimpangan struktur penguasaan tanah , khususnya di Jawa, yang semakin tajam dalam dua dasawarsa (1973-1993). Ketimpangan struktur penguasaan tanah yang semakin tajam ditunjukan dengan perubahan secara berlanjut yakni semakin menyempitnya skala usaha tani dan meningkatnya jumlah tunakisma. Menurut Kano ada dua factor yang menyebabkan adanya perbedaan yang jelas dan menentukan munculnya petani tunakisma di masyarakat pedesaan Jawa, yaitu factor demografi yakni tingginya man land ratio dan factor ekonomi yakni komersialisasi pertanian.
Ketimpangan penguasaan tanah yang terjadi menyebabkan kondisi tidak meratanya tanah yang bisa diakses petani untuk berproduksi. Kemampuan berproduksi menjadi indicator dari sikap petani yang lebih mengutamakan kebutuhan konsumsinya sendiri agar terpenuhi dahulu daripada mencari keuntungan dan surplus yang dapat dihasilkan dari keterbatasan factor produksi yang dimilikinya.

0 komentar:

Posting Komentar