Jumat, 24 Desember 2010

KONFLIK AGRARIA PADA PERIODE KOLONIAL


Masa Sewa Tanah (1800-1830)
Kekuasaan Gubernur Jendral H.W. Deandels (1808-1830)
Peraturan yang dikeluarkan Deandels : penghapusan tanah-tanah milik raja dan wajib kerja bagi pemegang hak tanah, pajak dalam bentuk mengambil seperlima bagian dari hasil bumi rakyat, dan kewajiban kerja rodi dalam pembuatan jalan Anyer-Panarukan untuk kepentingan militer.
Kekuasaan Inggris, Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816)
Menerapkan system liberal yang memberikan kebebasan pada petani dan memberikan kepastian hukum. Ada tiga prinsip yang dijalankan pada masa pemerintahan Raffles, yaitu :
a. Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi dihapuskan. Rakyat diberi kebebasan penuh untuk menentukan jenis tanaman yang hendak ditanam.
b. Peranan para bupati dalam memungut pajak dihapuskan, digantikan dengan fungsi pemerintahan
c. Pemerintah colonial adalah pemilik tanah, petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa. Sebagai penyewa petani diwajibkan membayar pajak bumi sebesar dua perlima dari hasil tanah garapannya.
Kekuasaan Du Bus (1826-1930)
Menerapkan kebijakan menghilangkan tanah-tanah komunal menjadi tanah milik perseorangan dan membuka penanaman modal secara besar-besaran melalui perluasan tanah. Petani-petani tunakisma dengan mudah direkrut menjadi buruh di pertanian-pertanian besar sehingga muncullah stratifikasi social buruh-majikan (pengusaha) yang amat tajam pada masa itu.

Masa Tanam Paksa (1830-1870)
Van den Bosch memanfaatkan adanya ikatan feudal untuk memaksakan kebijakan STP melalui pengaruh para bupati. Kebijakan ini berupaya memperbesar kekuasaan bupati dengan cara memberi apanage (pelungguh) berupa tanah yang diwariskan. STP sangat merugikan kepentingan petani karena membatasi pembukaan tanah-tanah baru sementara tanah pertanian yang sudah ada terus dibagi-bagi.

Masa Liberal (1870-1845)
Diberlakukanya UU Agraria 1870. Hak kuasa feudal terhadap tanah dihapuskan agar tanah-tanah dapat diperjual-belikan oleh pengusaha swasta dan pemerintah colonial. Kebijakan tersebut disambut penduduk dengan pembukaan tanah-tanah baru secara besar-besaran. Pembukaan tanah tersebut menyebabkan semakin pesatnya peningkatan jumlah penduduk Jawa.
Melalui UU Agraria, penanaman wajib yang semula menjadi kebijakan STP mulai digantikan dengan system penanaman bebas. Masuknya system perkebunan ke pedesaan berpengaruh besar terhadap kehidupan petani. Mereka tidak lagi dapat menguasai factor dan proses produksi di tanahnya. Situasi ini mendorong petani memasuki ekonomi uang (monetization) dengan menjadi buruh di perkebunan. Namun system ini tetap tidak mampu meningkatkan kesejahteraan petani tapi petani semakin miskin. Hal ini menjadi sebuah fenomena bahwa para petani telah menjadi kuli di negerinya sendiri.
UUAgraria yang belaku 1870-1920 ini dianggap sebagai “setengah abad ketidakadilan”. Pada awal abad ke-20 melalui “Trias Van Deventer”, pemerintah colonial berusaha memperbaiki kemiskinan yang diderita rakyat Indonesia akibat kebijakan agraria colonial melalui program-program irigasi, transmigrasi, dan pendidikan.

Konflik-konflik structural
Kelangkaan tanah menyebabkan petani mengalami apa yang disebut dengan proses pemiskinan. Kemiskinan dan kerawanan pangan telah menjadi sebab utama petani melibatkan diri dalam pemberontakan. Cirri dari gerakan petani secara keseluruhan menampakkan pola yang sama yakni berupa aktivitas perlawanan dan penolakan terhadap dominasi asing dan struktur kelembagaan modern yang menyertainya. Konflik-konflik agraria yang bermunculan pada abad ke-19,diakibatkan oleh eksploitasi tenaga petani yang melampaui batas.

Konflik-konflik Berlevel Lokal
Walaupun hanya bersifat local dan pengaruhnya tidak sangat besar, pemberontakan petani ini merupakan sebuah gejala bangkitnya manifestasi kesadaran petani atas situasi hidup yang tidak berdaya akibat tekanan penjajah dan kondisi kerja yang buruk sangat jauh dengan tata masyarakat yang diimpikan. Keadaan ekonomi, politik, social dan budaya menjadi factor penentu terjadinya konflik agraria. Awal abad ke-20, gerakan masa petani dalam bentuk organisasi yang lebih terorganisir berbeda dengan ideology gerakan sebelumnya yang bersifat sangat tradisional.

Rakyat vs Raja, Bangsawan dan Kolonial
Dalam struktur feudal, ada sedikitnya tiga actor yang mempunyai kepentingan terhadap tanah, yaitu raja, bangsawan dan rakyat. Konflik structural terjadi antara masyarakat dan pihak kerajaan sebagai akibat penerapan berbagai kewajiban, sementara konflik horizontal banyak berkaitan dengan konflik yang terjadi antar-sikep akibat kebijakan kerajaan dalam hal pancasan. Konflik structural lebih dominan daripada horizontal. Setelah dikeluarkannya UU Agraria 1870, actor yang terlibat konflik mulai bergeser dengan hadirnya pemilik modal perkebunan.

Peradilan Agraria Kolonial
Kasusu-kasus sengketa perdata yang berhubungan dengan pertanahan banyak ditemui di pengadilan-pengadilan pemerintah colonial Belanda (Landraad). Pada masa-masa itu kasus yang bersifat massal, penyelesaian secara politik dan kekerasan banyak terjadi. Dan petani akan selalu dirugikan karena tidak adanya pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan konflik.

0 komentar:

Posting Komentar